Hari Kartini: Refleksi Perjuangan Emansipasi Perempuan Indonesia
Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini—sebuah momentum penting yang tidak hanya mengingatkan kita pada sosok Raden Ajeng Kartini sebagai pelopor emansipasi perempuan, tetapi juga mengajak kita merenungkan sejauh mana perjuangan itu telah berbuah hasil hari ini.
Raden Ajeng Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah, pada 21 April 1879. Sebagai anak bangsawan Jawa yang hidup dalam kungkungan adat, Kartini tidak tinggal diam. Ia menggunakan pena sebagai senjata untuk memperjuangkan hak perempuan akan pendidikan dan kesetaraan. Lewat surat-suratnya kepada sahabatnya di Belanda, yang kemudian dibukukan dengan judul "Habis Gelap Terbitlah Terang", Kartini menumpahkan gagasan-gagasan revolusioner yang jauh melampaui zamannya.
Kini, lebih dari satu abad sejak Kartini menulis surat-suratnya, wajah perempuan Indonesia telah banyak berubah. Perempuan kini bisa menjadi pemimpin, ilmuwan, pengusaha, bahkan presiden. Namun, apakah perjuangan Kartini telah benar-benar selesai?
Meski akses pendidikan dan karier terbuka lebih luas, data menunjukkan bahwa ketimpangan gender masih terjadi di berbagai sektor. Masih banyak perempuan Indonesia yang terpaksa meninggalkan pendidikan demi pernikahan dini. Kekerasan terhadap perempuan juga masih menjadi persoalan serius, dengan angka kasus yang terus meningkat setiap tahun.
"Kartini tidak hanya memperjuangkan pendidikan bagi perempuan, tetapi juga hak untuk berpikir, menyuarakan pendapat, dan menentukan jalan hidupnya sendiri," ujar Dr. Lestari Moerdijat, aktivis perempuan dan Wakil Ketua MPR RI. "Kita perlu memastikan bahwa semangat itu hidup di setiap ruang publik hari ini."
Hari Kartini bukan sekadar seremoni mengenakan kebaya di sekolah-sekolah atau kantor pemerintahan. Ia seharusnya menjadi pengingat bahwa perjuangan Kartini adalah tanggung jawab kolektif: pemerintah, masyarakat, dan perempuan itu sendiri.
Sosok Kartini masa kini dapat kita temui di banyak tempat: perempuan petani yang tetap tangguh mengolah tanah, guru di pelosok negeri, dokter yang berjaga di ruang ICU, hingga ibu rumah tangga yang tak kenal lelah mengurus keluarga. Mereka adalah penerus semangat Kartini, dalam wujud nyata kehidupan sehari-hari.
Merayakan Hari Kartini bukan hanya soal mengenang, tapi juga melanjutkan. Menyuarakan keadilan, membuka ruang diskusi tentang kesetaraan, dan memastikan perempuan memiliki posisi yang setara dalam semua aspek kehidupan.
Sebagaimana yang ditulis Kartini dalam salah satu suratnya, "Aku mau! Aku mau perempuan memperoleh kebebasan, berdiri sendiri, agar bisa menjadi manusia yang bebas merdeka." Sebuah cita-cita yang hingga kini masih relevan dan menjadi tugas bersama untuk mewujudkannya.